Infokasus.id Direktur Eksekutif Forbina, Muhammad Nur, mendesak PT Pembangunan Aceh (PEMA) mengelola sepenuhnya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) seluas 1,8 juta hektare. Ia menilai pengelolaan KEL saat ini didominasi lembaga konservasi dan entitas asing melalui skema bisnis karbon yang tidak transparan dan mengabaikan kedaulatan Aceh. Nur menyebut alokasi 100.000 hektare untuk PEMA sebagai "pengerdilan peran" Pemerintah Aceh dan "penipuan publik".
Kritik terhadap skema REDD+:
- Dana REDD+ sebesar USD 1,7 juta untuk Aceh dikelola BPDLH (Kementerian Keuangan), bukan Pemprov Aceh.
- Akses dana melalui Lembaga Perantara (Lemtara), bukan langsung ke pemerintah daerah.
- Mekanisme distribusi dan akuntabilitas dana dipertanyakan.
- Potensi manfaat karbon tidak dinikmati masyarakat Aceh.
Nur mendesak pembangunan tata kelola hutan berbasis daerah, dengan BUMD kabupaten sebagai aktor utama bisnis jasa lingkungan. Ia juga menyoroti konflik kepentingan beberapa lembaga konservasi dalam konservasi dan transaksi karbon, serta meminta audit menyeluruh atas kerja sama terkait Leuser.
Kritik terhadap dana konservasi:
- Dana konservasi di Aceh mencapai Rp201,2 miliar (APBN, donor, BPJN) pada 2023.
- Namun, konflik satwa (misalnya kematian gajah) masih terjadi.
- Nur meminta diakhirinya "monopoli konservasi" atas nama hutan Aceh.
Forbina mendukung PEMA memimpin sektor jasa lingkungan, asalkan tidak menjadi alat kepentingan elit atau asing. Mereka juga menyambut baik Surat Edaran KLHK No. SE.4/MENHUT/SETJEN/KUM.02/05/2025 yang menunda sementara pasar karbon berbasis kehutanan, sekaligus memberikan peluang untuk merancang ulang tata kelola yang lebih adil dan transparan.
0 Komentar