Infokasus.id Medan - Sidang keempat sengketa informasi publik antara Muhammad Amarullah melawan Pemerintah Desa Pidoli Lombang kembali digelar oleh Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara pada Selasa, 24 Juni 2025. Ironisnya, untuk keempat kalinya secara berturut-turut, Kepala Desa Pidoli Lombang maupun kuasa hukumnya kembali mangkir tanpa alasan.
Tidak hanya abai, sikap ini dinilai sebagai bentuk pembangkangan terang-terangan terhadap hukum negara. Dalam negara hukum, pejabat publik yang tak hadir dalam panggilan resmi lembaga negara adalah cerminan dari arogansi kekuasaan dan penghinaan terhadap konstitusi.
“Mereka digaji dari uang rakyat, tapi menolak diawasi. Apa yang sebenarnya disembunyikan dari laporan keuangan desa tahun 2024?” tegas Muhammad Amarullah, pemerhati kebijakan publik sekaligus pemohon informasi.
Menurutnya, tindakan Kepala Desa Pidoli Lombang bukan lagi sekadar kelalaian, tapi sudah masuk dalam kategori pelecehan terhadap prinsip transparansi dan penghinaan terhadap rakyat.
Bupati Mandailing Natal Disorot
Lebih memprihatinkan lagi, hingga kini tak ada langkah tegas dari Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal. Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah menyatakan bahwa laporan keuangan desa adalah hak publik.
Diamnya Bupati seolah menunjukkan adanya pembiaran atas pelanggaran hukum. Ketika seorang kepala desa bisa berulang kali menginjak hukum tanpa sanksi, maka publik berhak bertanya: Di mana pengawasan kepala daerah?
“Jika bupati tetap diam, maka ini bukan hanya soal kepala desa yang bermasalah, tapi cermin rapuhnya integritas kepemimpinan daerah. Ini soal keberpihakan pada rakyat atau pada pembangkang hukum,” ujar seorang akademisi hukum di Medan.
Komisi Informasi Bertindak, Tapi Publik Menuntut Lebih
Majelis Komisioner Komisi Informasi Sumut tetap melanjutkan proses sidang sesuai aturan. Namun, prosedur saja tak cukup. Publik menuntut adanya sanksi nyata dan tindakan tegas, agar tak muncul preseden bahwa pejabat publik bisa semena-mena terhadap hukum.
Jika tak ada ketegasan, krisis kepercayaan terhadap pemerintah desa dan daerah akan membesar. Ini bukan lagi soal sengketa informasi, tapi soal keberanian rakyat melawan arogansi kekuasaan.
Rakyat tidak buta. Rakyat tidak diam. Sudah waktunya kita bersuara lantang:
Hukum bukan hanya untuk rakyat kecil. Jangan biarkan pemimpin desa dan kepala daerah menjadi simbol pembangkangan hukum di negeri ini!
(Magrifatulloh | Infokasus.id)
0 Komentar