Pemerintah Pusat Dinilai Abaikan Kewenangan Migas Aceh, Potensi Triliunan Rupiah Terancam Hilang

Infokasus.id Jakarta, 18 Juni 2025 Pemerintah Pusat kembali disorot atas dugaan pengabaian terhadap kewenangan pengelolaan migas Aceh yang telah diatur tegas dalam Pasal 90 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015. Regulasi tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa seluruh hak dan kewajiban pengelolaan hulu migas di wilayah Aceh harus dialihkan dari SKK Migas kepada Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) sejak lembaga tersebut resmi dibentuk.

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Sejumlah blok migas strategis seperti Kuala Simpang Barat, Kuala Simpang Timur, dan Rantau Perlak masih dikelola oleh Pertamina EP melalui kontrak bersama SKK Migas, bukan BPMA. Akibatnya, hak Aceh atas transparansi dan pengelolaan sumber daya alamnya menjadi kabur, bahkan dinilai dirampas secara sistematis.

Data dari Pertamina EP Rantau Field menyebutkan, hanya dari wilayah Kabupaten Aceh Tamiang saja, produksi migas mencapai 2.500 Barrel Oil Per Day (BOPD) atau setara dengan 900.000 barel per tahun. Nilai keekonomian dari produksi tersebut bisa mencapai Rp4,78 triliun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Ironisnya, potensi pendapatan tersebut tidak secara utuh diketahui atau dinikmati oleh Pemerintah Aceh karena masih berada di bawah struktur pengelolaan lama.

Sejarah Panjang Advokasi: Dari Gugatan hingga Diabaikan

Upaya hukum dan advokasi terhadap pelanggaran ini telah berlangsung sejak tahun 2021. Anggota DPRA, Asrizal H. Asnawi, menggugat Kementerian ESDM, SKK Migas, dan Pertamina ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No. 338/Pdt.G/2021/Jkt.Pst. Gugatan tersebut membuahkan kesepakatan bahwa seluruh pihak akan mematuhi PP 23/2015 dan menyerahkan kewenangan kepada BPMA. Sayangnya, hingga kini kesepakatan tersebut belum juga dijalankan.

Pada 2023, gugatan serupa kembali diajukan oleh Kepala Perwakilan Aceh Tamiang dan Aceh Timur. Di tengah proses, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengeluarkan surat pada 26 Mei 2023 yang menyetujui sebagian pengalihan wilayah kerja ke BPMA. Namun, pengalihan tersebut disertai syarat berat sebelah yang cenderung menguntungkan Pertamina EP, seperti:

Afiliasi pengelola harus tetap berasal dari Pertamina EP;

Nilai keekonomian tidak boleh berubah dari kontrak lama;

Tidak diperkenankan adanya tambahan kewajiban bagi pihak Pertamina.

Lebih lanjut, pada 30 Oktober 2024, Pj Gubernur Aceh Safrizal ZA telah menyetujui term and condition hasil perundingan tiga pihak — SKK Migas, Pertamina, dan BPMA. Namun hingga pertengahan 2025, Menteri ESDM belum juga menerbitkan Keputusan Menteri sebagai dasar hukum pelaksanaan pengalihan tersebut. Proses pun kembali mandek.

“Ini Bukan Sekadar Administrasi – Ini Pembegalan”

Sikap diam dan lamban Kementerian ESDM dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap amanah konstitusi, peraturan nasional, serta semangat lex specialis dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Upaya menunda-nunda proses ini dinilai sebagai bentuk pembegalan sistematis terhadap hak Aceh atas kekayaan alamnya sendiri.

Kasus ini mengingatkan publik pada insiden pengalihan empat pulau Aceh ke Sumatera Utara yang sempat memicu kegaduhan, namun berhasil diselesaikan secara arif oleh Presiden. Sayangnya, kasus migas Aceh tidak mendapat penyelesaian serupa.

Seruan Kritis: Saatnya Presiden Turun Tangan

Menyikapi stagnasi yang berlarut-larut ini, berbagai pihak menyuarakan desakan agar pemerintah pusat segera bertindak:

Presiden RI diminta turun tangan menyelesaikan kebuntuan pengalihan pengelolaan Blok Migas ke BPMA sesuai amanah konstitusi.

Menteri ESDM diminta segera menerbitkan Keputusan Menteri agar PT Pertamina Hulu Energi Aceh Darussalam bisa menandatangani kontrak dengan BPMA.

DPR RI dan DPRA diminta mengawasi ketat pelaksanaan PP 23/2015 dan memastikan seluruh proses berjalan sesuai prinsip otonomi khusus dan UUPA.

Aceh bukan daerah otonomi biasa. Penundaan pelaksanaan kewenangan khusus hanya akan memperlebar ketidakpercayaan dan menyuburkan ketimpangan. Ini bukan hanya soal angka dan kontrak—ini tentang keadilan dan pengakuan terhadap hak istimewa yang sah secara hukum dan sejarah.

Redaksi Infokasus
Untuk keadilan dan transparansi pengelolaan sumber daya bangsa.

0 Komentar